Tunjunging Langit

SINOPSIS:
Kiyai Penyarikan Dawuh Bale Agung adalah putra Kiyai Akah, cucunya Kiyai Nyuh Aya dan cicit dari Arya Kepakisan Trah Kesatriyeng Kediri. Beliau pejabat tinggi sebagai sekretaris kerajaan Bali, Lombok dan Nusantara. Saat pemerintahan Ida Dalem Waturenggong yang berpusat di Suweca Pura (Gelgel Klungkung). Kiyai Dawuh Bale Agung seorang “Yogiswara” mendalami ilmu Ketuhanan, kadiatmikan dan penekun sastra klasik sebagai “Kawiswara”. Banyak karya sastra, Beliau sehingga diberi gelar “Manguri”.

Saat kedatangan Dang Hyang Nirartha di Bumi Mas, tercium berita oleh raja Ida Dalem Waturenggong, bahwa Sang Pendeta sangat sakti. Diutuslah Kiyai Dawuh Bale Agung untuk menjemput Sang Pendeta di Bumi Mas menuju Suweca Pura. Kiyai Penyarikan Dauh Bale Agung sangat tinggi ilmunya, prabawanya agung, sehingga sangat mumpuni sebagai seorang pejabat tinggi di kerajaan. Sampai di Bumi Mas Beliau disambut Ki Pangeran Manik Mas dipersilahkan masuk ke Puri diperkenalkan dengan Sang Pendeta, Kiyai Dauh dipersilahkan duduk di palkon pendopo dengan posisi yang sama tinggi. Pada pertemuan ini terjadi dialog semalam suntuk, seluruh pertanyaan Kiyai Dauh Bale Agung mulai dari masalah agama, Dharma Yudha, Semara Gama, Cumbhuwana Krama, pelaksanaan memukur atau meligia untuk mensorgakan seluruh yang telah meninggal, masalah pertanian dan ketatanegaraan semua topik dapat dijelaskan dengan baik oleh Dang Hyang Nirartha. Pertemuan Kiyai Dawuh Bale Agung dengan Dang Hyang Nirartha merupakan suatu keberuntungan mendapat penjelasan mengenai topik-topik di atas. Kiyai Dawuh terdiam lama dan duduknya kian turun dari tempat semula. Sang Pendeta bertanya “Kenapa Kiyai Penyarikan diam, bertanyalah lagi, baru sedikit yang keluar, masih banyak yang tersimpan”. Kiyai Penyarikan Dawuh Bale Agung lalu berujar mohon agar Beliau dicabut “jiwa pramana-nya”. Dang Hyang Nirartha menjawab tidak bagi Kiyai Penyarikan Dawuh Bale Agung berkata demikian, bahkan Dang Hyang Nirartha bertanya bersediakah Kiyai Dawuh Bale Agung menjadi murid dan diparisudha (diniksan). Keesokan harinya setelah matahari terbit Kiyai Penyarikan Dawuh Bale Agung didiksa di Bale Pediksan Pura Taman Pule di Mas Ubud bergelar Begawan Rsi Dawuh Bale Agung.

Pemerintahan Ida Dalam Waturenggong (1460-1550) M sangat dinamis, aman dan tentram. Beliau sangat bijaksana, dihormati dan disegani oleh rakyatnya, seni sastra dan budaya berkembang karena raja menaruh perhatian besar dan memberi pengayoman terhadap perkembangan seni sastra dan budaya. Peranan Dang Hyang Nirartha sukses bersama muridnya Begawan Resi Dawuh Bale Agung. Dua tokoh inilah yang mengantarkan kesusastraan kidung (Jawa Tengah) berbahasa Bali Kawi mencapai puncak kegemilangannya pada masa pemerintahan Ida Dalam Waturenggong. Demikian juga pembangunan budaya dan agama di Bali hingga pengaruh kemuliaannya yang dijiwai dari alkulturirasi budaya religius Bali-Hindu dengan Hindu-Jawa Majapahit mencapai puncak keemasannya keadaban Bali Madya ini sebagai sistem budaya yang terlahir dari pusat zaman Kerajaan Gelgel yang mengapresiasi kecemerlangan budaya Nusantara yang kita warisi sampai saat ini.

Peranan Dang Hyang Niartha sebagai Bhagawanta di Gelgel sangat besar dalam bidang agama. Sebagai Bagawanta beliau memberi petunjuk dan nasehat kepada Ida Dalem Waturenggong dan Begawan Rsi Dawuh Bale Agung sebagai sekretaris Kerajaan dalam mengendalikan pemerintahan. Beliau memimpin upacara Eka Dasa Ludra di Besakih yang diselenggarakan Ida Dalem Waturenggong. Ketika persiapan karya Eka Dasa Ludra peranan Anglurah Sidemen di Pura Besakih sangat khusus dan menarik. Hal ini ditunjukkan dalam Raja Purana letak Pedharman keturunan Arya Bang Sidemen di Penataran Agung berupa meru bertingkat tujuh. Demikian juga Arya Kepakisan Dawuh Bale Agung mendirikan Pedharman atau bangunan suci dalam wujud meru bertingkat lima di sebelah kiri meru tingkat tujuh. Para Dewa leluhur dari Pedharman kedua kelompok trah ini bersama-sama menjadi penghuni/tuan rumah Pura Penataran Agung. Pada upacara Batara Turun Kabeh, ketika para Dewa meninggalkan Pura untuk prosesi melasti para Dewa di Pura Pedharman ikut menemani hanya sampai pintu masuk yang paling luar kemudian kembali lagi ke Pura Penataran Agung.

Ida Dalem Waturenggong wafat tahun 1550 M digantikan putranya Ida Dalem Pemayun lebih dikenal dengan Ida Dalem Bekung. Sejak beliau menjadi Raja, kerajaan kurang harmonis. Di kerajaan diduga terjadi cinta segitiga antara Ida Dalem Bekung, I Gusti Samuan Tiga dengan Ki Ngurah Telabah. Peristiwa ini berakibat pecahnya perang “Puputan” di Kerajaan Gelgel. Perang kemuliaan I Gusti Pande Basa dan saudaranya I Gusti Anjarame serta para putranya I Gusti Wayahan Byasama, I Gusti Plangpung dan I Gusti Jelegog melawan ketidakadilan Raja yang terjadi pada Anggara Keliwon Medangsia tahun 1578. Karena pasukan tidak seimbang kekalahan ada di pihak I Gusti Pande Basa. Seluruh keluarga dan pasukan habis terbunuh. Yang masih hidup Begawan Rsi Dawuh Bale Agung dan cucu menantunya yaitu I Gusti Ayu Singarsa yang sedang hamil. Hal ini menjadi peringatan kepada trah Arya Kepakisan Dauh Bale Agung tidak melaksanakan pembersihan spiritual saat hari Anggara Kliwon Medangsia. Dalam perang Puputan tersebut banyak kekuarga Dalem dan anak cucu dari Begawan Rsi Dawuh Bale Agung pralaya, atas perintah Ida Dalem Pemayun agar diadakan upacara pelebon. Khusus untuk I Gusti Pande Basa dan keluarga prosesi pelebonnya di puput oleh Pedanda Sakti Ender.

I Gusti Ayu Singarsa yang sedang hamil memutuskan untuk menyelamatkan bayi yang ada dalam kandungannya. Beliau pergi ke Sulang karena terus dikejar oleh pasukan kerajaan. I Gusti Pinatih mengantar I Gusti Ayu Singarsa ke Sidemen. Sebelum pergi I Gusti Ayu Singarsa mohon pamit pada kakiyangnya mohon restu, Begawan Rsi Dawuh Bale Agung merestui dan berujar “Kakyang ikut dalam kandunganmu”. I Gusti Ayu Singarsa berangkat ke Sidemen bertemu dengan ayahanda I Gusti Anglurah Sidemen selanjutnya atas petunjuk Anglurah Sidemen dan bantuan Pan Binder dan Pan Kulaleng sampailah di Desa Batu Gede tepatnya di Garba. Di Taman Nengan yang indah lahirlah seorang bayi laki-laki diberi nama I Gusti Taman Nengan, ari-arinya ditanam di Taman Nengah yang sekarang telah dibangun Pura Taman Nengan. Setelah dewasa, pada tahun 1600 Beliau dinobatkan sebagai Raja di Kuncara Giri oleh kakiyangnya I Gusti Anglurah Sidemen bergelar I Gusti Dawuh Ring Hayun, kerajaannya berpusat di Sibetan. Hal ini menjadi tonggak sejarah penting yang ditancapkan di Garba sebagai tanda bangkitnya keturunan Begawan Rsi Dawuh Bale Agung. Dalam proses penataan kerajaan, tahun 1601 I Gusti Dawuh Ring Hayun mendirikan pura merajan kawitan Garba yang kita warisi dan dilestarikan sampai sekarang.

I Gusti Dauh Ring Hayun memiliki 7 keturunan dari ibu yang berbeda I Gusti Wayan Abian, I Gusti Ketut Abian, I Gusti Ketut Bekung, I Gusti Tanah, I Gusti Pande, I Gusti Luh Selat, dan I Gusti Ayu Ratih Turida, Generasi selanjutnya I Gusti Ketut Bekung menurunkan I Gusti Nyoman Selat (ke Dharma Putra dari I Gusti Ngurah Sidemen Tohjiwa), I Gusti Dauh Purnamaning Kapat, I Gusti Nengah Jelantik, I Gusti Nengah Sangkan Gunung, I Gusti Wayahan Nongan, I Gusti Made Tukad dan I Gusti Ketut Padang, trah dari semua keturunan I Gusti Dauh Ring Hayun menyebar di seluruh Bali, Lombok dan Nusantara.

ISBN

TBA

Penulis

Dr. I Gusti Lanang Jelantik, M.Si

Penerbit

PT. Percetakan Bali

Ukuran Buku

B5

Jumlah Halaman

359

Bahan Kertas Cover

Artpaper 260 gr (Laminasi DOFF)

Bahan Kertas Isi

HVS 70 Gr

Jilid

Perfect Binding

Komposisi Warna

Hitam Putih